Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Manajeme Hutan Universitas Patimura Ambon - majalahkriptantus.com - Menyajikan berita secara faktual, independent dan sesuai fakta.

Breaking News

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Manajeme Hutan Universitas Patimura Ambon



MALUKU, Majalahkriptantus.com ||  Perubahan Iklim merupakan sebuah fenomena alam yang disebabkan salah satunya oleh emisi gas rumah kaca (GRK) akibat pola perilaku manusia yang sangat berdampak bagi ketahanan bumi dan kelangsungan hidup makhluk hidup. Efek rumah kaca adalah fenomena alami di mana gas-gas tertentu di atmosfer bumi menyerap dan memancarkan kembali sebagian dari radiasi panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi.  Gas-gas rumah kaca itu adalah karbon dioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC). Gas karbon sebagai pencemar utama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak, batu bara, dan bahan bakar organik lain. Penyebab efek rumah kaca paling utama adalah adanya gas-gas rumah kaca dengan konsentrasi tinggi di bumi. Apabila konsentrasi gas-gas rumah kaca semakin meningkat di atmosfer, maka efek rumah kaca akan semakin besar juga. Gas rumah kaca yang terpompa ke atmosfer membuat selubung bumi ini kehilangan daya menyerapnya. Akibatnya, panas dan gas rumah kaca yang berbahaya itu kembali ke bumi menaikkan suhu bumi. 
Pemicu utama kenaikan konsentrasi gas rumah kaca ini terjadi setelah manusia menemukan mesin uap dan batu bara sebagai bahan bakar setelah Revolusi Industri di Eropa pada 1750. Lima gas lain paling ganas menyebabkan pemanasan global. Sebab mereka adalah emisi berat yang dikeluarkan oleh energi fosil atau proses pengolahan semen. Berbeda dengan CO2 yang dinamis, emisi dari energi fosil ini terperangkap di atmosfer hingga ribuan tahun. Karena itulah gas-gas ini mengurangi kemampuan atmosfer menyerap emisi dari bumi dan menyerap panas matahari. Akibatnya bumi seperti terperangkap dalam rumah kaca tanpa pintu keluar.

Sumber emisi sektor kehutanan selama ini berasal dari pembukaan hutan, deforestasi (perubahan hutan alam), degradasi (perubahan hutan primer ke sekunder), dan kebakaran. Potensi kerugian akibat dampak climate change sangat besar. Dampak tersebut berupa peningkatan risiko bencana, gangguan kesehatan dan ekosistem, maupun ketidakstabilan pangan, air, dan energi yang mengakibatkan kerugian ekonomi di berbagai bidang. 

Sektor Forest and Other Land Use (FOLU) atau sektor kehutanan dan lahan merupakan sektor kedua (setelah sektor energi) yang diperkirakan menghasilkan emisi GRK terbesar di Indonesia. Sektor FOLU diperkirakan menghasilkan emisi sekitar 714 juta ton setara CO2 pada 2030 dari deforestasi dan degradasi, kebakaran hutan dan lahan, serta dekomposisi gambut. Walaupun demikian, sektor FOLU juga menjadi andalan untuk menyerap emisi GRK.

Badan Perlindungan Lingkungan (AS) mengungkap efek rumah kaca adalah proses meningkatnya suhu rata-rata permukaan Bumi karena lapisan atmosfer Bumi yang kian menipis bahkan bocor. Hal ini menjadikan cuaca di Bumi semakin panas karena sinar matahari tidak lagi terhalang oleh lapisan atmosfer.
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), peningkatan konsentrasi GRK akibat aktivitas manusia itu menjadi penyebab utama naiknya suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20. Model iklim yang dijadikan acuan oleh IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 derajat celsius antara tahun 1990 dan 2100.

Kesimpulan itu dikuatkan hasil riset oleh 30 badan ilmiah dan akademik dunia. Salah satunya adalah lembaga riset di Amerika Serikat, Scripps, yang mengukur emisi Karbon dioksida di Mauna Loa Observatory dari Juli 1958 hingga juli 2017. Hasilnya menunjukkan, emisi CO2 pada 1958 masih 315 bagian per sejuta (part per million/ppm) naik mencapai lebih dari 350 ppm tahun 1990. Pada Juli 2015, emisi CO2 menjadi 401,61 ppm, naik terus hingga 407,25 pada juli 2017.

Perhitungan simulasi yang dihasilkan IPCC, efek rumah kaca meningkatkan suhu rata-rata Bumi 1 hingga 5 derajat celsius. Jika kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang, itu akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 derajat celsius sekitar tahun 2030. Menghangatnya suhu global itu tentu menimbulkan perubahan kondisi lingkungan bumi, terutama kekacauan pola cuaca dan iklim.
Pada akhir abad ini, kenaikan suhu melebihi 1,5 - 2 derajat Celcius akan memicu kekacauan dan bencana iklim yang tidak terbayangkan sebelumnya. Tercatat pada tahun 2022 suhu bumi telah naik 1,2 derajat Celcius dari masa pra industri. 

Hal ini mengharuskan seluruh negara di dunia (termasuk Indonesia) untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi sebagai upaya menekan suhu bumi agar tidak naik melebihi 2 derajat Celcius. 
Dalam mengatasi isu perubahan iklim, dilakukan upaya untuk menekan laju kenaikan suhu rata-rata bumi melalui penurunan emisi karbon. Selanjutnya dilakukan Perjanjian Paris yang merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) yang didukung 195 negara. Persetujuan Paris ditujukan untuk menahan kenaikan suhu rata- rata global di bawah 2°C di atas tingkat pada masa pra-industrialisasi; dan dengan ambisi untuk melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu sebesar 1,5°C.

 Indonesia berkomitmen melalui dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri hingga 41% dengan bantuan internasional. Saat ini, target tersebut di dalam dokumen Enhanced NDC telah diperbarui menjadi 31,89% dengan usaha sendiri hingga 43,2% dengan dukungan internasional.
Kebijakan dan implementasi sektor kehutanan akan terus dimantapkan dan ditingkatkan sejalan dengan perkembangan tantangan sektor kehutanan dan dampak perubahan iklim. Sebagai bagian dari implementasi NDC, sektor Forest and Other Land Use (FOLU) atau sektor kehutanan dan lahan, diyakini menjadi sektor andalan Indonesia di dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
Indonesia juga telah memiliki Strategi Jangka Panjang menuju Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience/LTSLCCR) 2050. Indonesia akan meningkatkan ambisi pengurangan emisi GRK melalui pencapaian puncak emisi GRK nasional 2030, di mana sektor Forestry and Other Land Use (FOLU) sudah mencapai kondisi net sink, dengan capaian 540 Mton CO2e pada 2050, dan dengan mengeksplorasi peluang untuk mencapai kemajuan lebih cepat menuju net sink dari seluruh sektor pada 2060. Melalui strategi tersebut, Indonesia memiliki visi untuk mencapai Net Zero Emissions pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu strategi implementasi Indonesia untuk mengurangi emisi guna mencapai Net Zero Emissions pada pertengahan abad ini adalah melalui agenda Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030.
FOLU Net Sink terdiri dari dua kata yaitu FOLU dan Net Sink. FOLU atau Forestry and Other Land Use adalah kategori sektor penggunaan lahan baik itu kehutanan maupun penggunaan lahan lain. Sementara Net Sink adalah gambaran kondisi penyerapan emisi GRK yang sama atau lebih tinggi daripada yang dihasilkan. Dengan demikian FOLU Net Sink dapat diartikan sebagai suatu agenda penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan maupun penggunaan lahan lain untuk mencapai penyerapan emisi yang sama atau lebih besar dibanding pengeluaran.

Kebijakan Pemerintah melalui program Nasional “Indonesia’s FOLU Net Sink 2030” sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, adalah merupakan strategi pencapaian net zero emission sektor kehutanan dan lahan pada tahun 2030 atau kondisi dimana sektor hutan dan lahan Indonesia menyerap lebih banyak emisi daripada yang dikeluarkan. Penyelarasan arah kebijakan KLHK tersebut sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, SDGs, Perubahan Iklim Paris Agreement, Aichi Biodiversity Targets, Pengendalian Degradasi Lahan dan berbagai konvensi internasional yang telah ditetapkan dan menjadi komitmen pemerintah.
Ada beberapa Rencana Operasional FOLU Net Sink yang mulai diterapkan meliputi restorasi gambut dan mangrove, pelibatan dunia usaha, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, kebijakan pemerintah daerah, serta pendanaan iklim. Seluruh rencana operasional itu ditujukan untuk mencapai target serapan emisi karbon bersih sebesar 140 juta ton setara CO2.
Restorasi gambut dan mangrove memegang peranan besar dalam agenda FOLU Net Sink 2030. Gambut menyimpan sebesar 75 miliar ton karbon, 30% lebih banyak dibanding karbon seluruh hutan Indonesia. Mangrove juga menyimpan karbon 2 – 3 kali lebih banyak dibanding hutan hujan tropis. Menjaga kedua ekosistem tersebut adalah cara paling besar untuk mencapai target FOLU Net Sink.

Dunia bisnis kehutanan mulai diharuskan untuk menyesuaikan usahanya agar sejalan dengan FOLU Net Sink. Caranya adalah dengan melakukan praktik pengelolaan hutan lestari, perhutanan sosial, serta multiusaha kehutanan. Target FOLU Net Sink 2030 untuk penerapan kegiatan Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) yang dibutuhkan hingga tahun 2030 itu sebesar 1,77 juta ha.
Pemberdayaan masyarakat merupakan kunci utama untuk mencapai target FOLU Net Sink 2030. Masyarakat merupakan garda terdepan untuk mengimplementasikan aksi mitigasi maupun aksi adaptasi yang sejalan dengan FOLU Net Sink 2030.
Diproyeksikan sektor FOLU akan berkontribusi hampir 60% dari total target penurunan emisi gas rumah kaca yang ingin diraih oleh Indonesia melalui upaya sendiri (skenario CM1). Untuk mengimplementasikan skenario dimaksud, terutama menuju net sink di tahun 2030, diperlukan sumber daya yang sangat besar, yang hampir dipastikan pemerintah memerlukan dukungan dan kerjasama dari para pihak, baik lintas Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, dunia usaha, masyarakat, dan lainnya. 
Kesuksesan untuk mencapai target FOLU Net Sink harus melibatkan seluruh pihak mulai dari pemerintah pusat (parties), pemerintah daerah, dunia bisnis, sampai masyarakat (yang ketiganya kemudian dikenal sebagai Non-Parties Stakeholders). Pelibatan ini sangat penting karena aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja akan tetapi membutuhkan partisipasi dari berbagai pihak. FOLU Net Sink adalah agenda bersama yang ditujukan untuk menurunkan emisi GRK agar dapat menekan laju perubahan iklim global.

Opini: folu net sink 2030 "solusi tanpa polusi

Oleh desilina R.A huwwaa

(Red)

Tidak ada komentar