DDPI menjadi kunci terpilihnya Kalimantan Timur sebagai provinsi
KALTIM, majalahkriptantus.com || Sejak 2009, Indonesia menjalankan program Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD+) yang dikembangkan Badan PBB untuk Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC).
Melalui REDD+, masyarakat dapat memperoleh pembayaran atas jasa mereka melindungi hutan. Tujuannya untuk lebih menarik minat warga menyelamatkan hutan ketimbang merusaknya.
Sejak menerapkan REDD+ tersebut, Indonesia telah mereformasi tata kelola sektor kehutanannya. Misalnya, kebijakan moratorium pembukaan lahan di hutan dan lahan gambut. Pemerintah juga dapat menekan laju deforestasi tahunan yang telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Upaya ini memungkinkan pelaku REDD+ lokal mendapatkan pembayaran dari Dana Iklim Hijau atau Green Climate Fund (GCF)
Namun, kami mengamati bahwa REDD+ masih kesulitan mewujudkan “perubahan transformasional” – agar kebijakan-kebijakan ekonomi dapat menjauh dari risiko deforestasi dan degradasi hutan. Contohnya, ekspansi wilayah untuk sektor pertanian dan aktivitas perkotaan masih terjadi di Indonesia.
Pembangunan industri pertanian dan perumahan serta infrastruktur memang penting bagi Indonesia untuk menurunkan angka kemiskinan. Namun, visi ini seharusnya selaras dengan target pemerintah untuk mewujudkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan yang netral karbon pada 2030.
Bagi kami, REDD+ tetap menjadi sarana yang penting untuk pencapaian target pengurangan emisi Indonesia. Supaya program ini lebih efektif, efisien, dan berkeadilan, ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan.
Memperluas jaringan seputar REDD+
Indonesia perlu mengatasi berbagai pemicu deforestasi di luar sektor kehutanan, seperti sektor perkotaan dan pertanian untuk mengejar perubahan transformasional.
Oleh karena itu, penting bagi jejaring pelaku REDD+ – seperti pemerintah, pihak swasta, maupun organisasi masyarakat – untuk saling bertukar informasi dan berkolaborasi dalam berbagai kegiatan.
Kami mengamati perubahan dalam jejaring kebijakan REDD+ Indonesia dari 2012 hingga awal 2019.
Awalnya, jejaring pertukaran informasi REDD+ antara kelompok pemerintah dan masyarakat sipil belum terhubung. Namun, seiring berjalannya waktu, komunikasi aktor negara dan maupun non-negara di sektor kehutanan mulai terbangun. Jejaring antar-aktor pun perlahan-lahan terbentuk.
Beberapa tahun terakhir, pemerintah pusat (seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kementerian Keuangan), serta organisasi-organisasi pendanaan mendominasi peran dan memimpin pelaksanaan REDD+. Pemerintah berfokus pada pelaksanaan teknis REDD+ dan mencoba untuk memuaskan kepentingan berbagai sektor.
Namun, menurut kami, fokus ini justru menurunkan upaya berbagi informasi lintas sektor.
Peran suatu aktor yang terlampau dominan justru dapat mengganjal perubahan transformasional. Hal ini juga dapat membatasi kemampuan kelompok lain untuk menyuarakan pendapat dan menyampaikan keprihatinan mereka.
Untuk mengatasi hal ini, perlu adanya suatu perantara untuk menjembatani komunikasi sekaligus meningkatkan koordinasi antar-kelompok pemangku kepentingan.
Peran ini tak harus menggerus kepemimpinan pemerintah dalam pelaksanaan REDD+. Posisi seperti broker dapat memungkinkan pelaku kebijakan untuk berkolaborasi di luar jaringan pemerintah.
Pemerintah pusat dapat belajar dari keberhasilan Provinsi Kalimantan Timur membentuk Dewan Perubahan Iklim Daerah (DDPI) pada 2011. DDPI berfungsi sebagai wadah koordinasi aksi dan kebijakan perubahan iklim. Sekretariat DDPI dipimpin oleh akademikus terkemuka, sekaligus melibatkan aktor pemerintah maupun non-pemerintah.
DDPI menjadi kunci terpilihnya Kalimantan Timur sebagai provinsi percontohan untuk program REDD+ tingkat yurisdiksi. Lembaga ini bertugas mempersiapkan proses administrasi dan teknis serta memfasilitasi koordinasi lintas-sektor – sebuah kerja yang akan lebih sulit jika hanya dilakukan pemerintah.
Penghitungan aktivitas REDD+ lebih baik
Seiring meningkatnya minat sektor swasta pada proyek REDD+, pemerintah perlu memastikan aksi REDD+ di tingkat lokal maupun regional diperhitungkan di tingkat nasional.
Kepastian ini dibutuhkan untuk menghindari penghitungan pengurangan emisi yang berganda. Hal ini juga untuk memastikan aktor di tingkat lokal mendapatkan penghargaan yang sepadan.
Saat ini, data pada Sistem Registrasi Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pengurangan emisi hanya menunjukkan aktivitas yang dilakukan pemerintah pusat, daerah, serta perusahaan pelat merah. Basis data ini perlu diperluas untuk mencakup semua entitas yang melaksanakan kegiatan REDD+.
Pelibatan perempuan dalam REDD+
Di tingkat akar rumput, REDD+ – jika manfaatnya terdistribusi dengan baik – dapat meningkatkan
kesejahteraan (misalnya kesehatan dan pendidikan yang baik, makanan, dan pendapatan) laki-laki maupun perempuan. Apalagi jika programnya secara jelas memuat upaya untuk mendukung lapangan pekerjaan dan penghidupan perempuan.
Sayangnya, hanya beberapa inisiatif awal REDD+ yang secara eksplisit bertujuan mengangkat perempuan sebagai tujuan inisiatif mereka.
REDD+ tingkat yurisdiksi di Kalimantan Timur saat ini mengikuti mandat UU Desa Tahun 2014 untuk berkonsultasi dengan semua pemangku kepentingan lokal dalam mempersiapkan intervensi tingkat ‘akar rumput’, termasuk perempuan dan kelompok adat.
Dalam mewujudkan potensi ini, para pelaksana REDD+ di lapangan harus mampu mengatasi ketidakseimbangan kekuatan antara pemangku kepentingan yang terlibat dan memastikan pembagian manfaat yang adil antar-pemegang kepentingan.
Opini: Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD)
Oleh: Imelda Rivani Kulla
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Manajemen Hutan Unpatty Ambon
Tidak ada komentar